Kampanye Sara: Regulasi, Modus Operandi, Dan Solusi
Abstract
1. Penggunaan instrument SARA dalam Pilkada merupakan fenomena politik yang menggambarkan degradasi peran partai dan pasangan calon dalam menghadirkan wacana pragmatis kampanye positif. Fungsi instrumentalisasi SARA ini memiliki dua tujuan, pertama untuk mendongkrak elektabilitas pasangan calon yang semula dinilai rendah untuk kemudian ditingkatkan melalui isu-isu atau konteks SARA yang ditujukan kepada pihak lawan. Fungsi yang kedua adalah instrumentalisasi SARA dimaksudkan untuk mendegradasi elektabilitas pihak lawan sehingga berdampak pada kerugian-kerugian politik yang menghancurkan pihak lawan.
2. Kontestasi Pilkada DKI Jakarta (2017), Sumatra Utara (2018), Jawa Barat (2018) dan Kalimantan Barat (2018) pada dasarnya mewakili instrumentalisasi SARA. Partai politik dan pasangan calon secara tidak langsung diuntungkan dengan politisasi SARA jika hal ini mampu mempengfaruhi sikap politik pemilih sehingga kepercayaannya terhadap pasangan calon yang menjadi sasaran politisasi SARA.
3. Kaitan antara politisasi SARA dengan kepentingan partai atau pasangan calon yang diuntungkan dengan politisasi SARA sifatnya simbiotik mutualisme. Walaupun partai pengusung atau pasangan calon membantah terlibat tetapi dalam realitas mereka tetap dapat mengambil manfaat electoral dibalik penggunaan SARA dalam Pilkada.
4. Eksplorasi politisasi SARA dalam Pilkada DKI Jakarta, Sumatera Utara, Jawa Barat dan Kalimantan Barat menunjukkan bahwa kontestasi Pilkada telah mengarah pada potensi konflik komunal dalam masyarakat. Konflik ini ditantai dengan semakin diterimanya aspek SARA oleh pemilih sebagai salah satu strategi untuk mendegradasi elektabilitas pihak lawan.
5. Dari aspek regulasi pemilu, penggunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan pencalonan adalah hal yang dilarang. Namun, pemasangan spanduk berisi pesan verbal yang konten SARA sulit untuk dianggap sebagai bentuk pelanggaran pemilu karena mengingat spanduk bukanlah alat peraga kampanye (APK) pasangan calon melainkan oleh ormas atau kelompok masyarakat tertentu sehingga tidak masuk ke dalam cakupan regulasi pemilu sehingga tidak dapat ditindaklanjuti sebagai bentuk pelanggaran oleh Bawaslu.
6. Kontestasi dengan memanfaatkan agama atau simbol-simbol agama dengan tujuan untuk menegasi calon yang beda agama atau etnis menggambarkan adanya ketidaksetaraan politik (unequal politics). Walaupun hal ini tidak masuk dalam ranah pelanggaran pemilu (electoral misconduct) tetapi dampak dari unequal politics jika gagal dan tidak mampu diselesaikan secara otoritatif oleh penyelenggara pemilu berdasarkan regulasi pemilu, justru akan menghasilkan pembiaran praktik unequal politics terhadap calon yang lain.
7. Diperlukan redesain regulasi pemilihan/ Pilkada yang mampu mengantisipasi serta juga mencegah praktek politisasi SARA yang lebih efektif yang secara transparan disebutkan dalam UU pemilihan/ Pilkada. Sanksi pelanggaran juga harus dipertegas dan tanggungjawab pelaksanaan kampanye juga harus dikaitkan secara melekat dengan tanggung jawab parpol pengusung.